Minggu, 07 Juni 2009

Mendesak, Penyamaan Penulisan


Perbedaan penulisan dan pelafalan bahasa Indonesia di media massa acap membingungkan masyarakat. Padahal, media massa salah satu rujukan yang dipercaya soal penggunaan bahasa Indonesia.

Karena itu, Forum Bahasa Media Massa (FBMM) menilai penyamaan penulisan dan pelafalan di media massa sebagai kemendesakan. Jika tak segera dilakukan, kebingungan masyarakat tak terjawab dan bisa memperparah kesemrawutan berbahasa.

Hal itu mengemuka pada Konvensi III FBMM di Hotel Le Beringin Salatiga, yang berakhir kemarin. Konvensi yang diikuti utusan 13 FBMM daerah di seluruh Indonesia itu berlangsung sejak Kamis (4/6).

’’Penyamaan penulisan dan pelafalan merupakan tujuan awal pembentukan FBMM tujuh tahun lalu,’’ kata Ketua Umum FBMM Pusat 2007-2009 TD Asmadi.

FBMM dibentuk 31 Oktober 2002 sebagai organisasi pencinta bahasa Indonesia, terutama berkait paut dengan media massa. Pembentukan forum itu merupakan tindak lanjut diskusi rutin kebahasaan sejak 1999, yang diprakarsai para wartawan dan editor bahasa di Jakarta.

Kelompok itu dibentuk sebagai antisipasi banjir istilah asing secara tak teratur, yang membingungkan masyarakat pembaca dan pengguna bahasa. ’’Penyamaan penulisan meliputi alfabet, ejaan, kosakata, dan tata bahasa,’’ kata Asmadi.

Selain penyamaan penulisan dan pelafalan, kata dia, FBMM ingin menggiatkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di media massa. Di lingkup lebih luas, forum itu bertujuan membantu mengembangkan bahasa Indonesia.
Bedah Kamus Mengawali konvensi diadakan seminar "Bedah Kamus Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi IV". Narasumber Meity Taqdir Qodratillah (Pusat Bahasa), Prof Dr Liek Wilardjo (UKSW Salatiga), Prof Dr Mudjahirin Thohir MA (Undip), dan TD Asmadi.

Pada seminar itu terungkap kelemahan KBBI IV, jika dibandingkan dengan edisi-edisi sebelumnya. Beberapa kata yang sebelumnya ada, hilang dari KBBI IV. Dalam KBBI IV juga ditemukan kata-kata atau istilah yang ditulis berbeda dari edisi sebelumnya.

Asmadi mencontohkan, kata "zuhur" dalam KBBI IV dinilai lebih baku ketimbang "lohor". Padahal, dalam KBBI III "zuhur" diberi tanda panah ke lohor, yang berarti lohor lebih baku. Contoh lain, dalam KBBI IV kata bentukan yang dibenarkan adalah memperhatikan, yang diambil dari kata dasar hati kemudian berubah jadi berhati.

Dalam KBBI III bentuk baku adalah memerhatikan yang dibentuk dari kata perhati.
’’Tentu pembaca yang tak paham akan bingung. Konsekuensinya, media yang jadi sasaran kebingungan,’’ katanya.

Meity Taqdir yang menjadi ketua tim penyusunan KBBI mengungkapkan banyak kendala selama proses, antara lain menyangkut teknis penulisan hingga kelelahan anggota tim.

’’Di tengah-tengah proses, entah karena apa, lema yang tersusun rapi kocar-kacir, antara kata dan makna tak nyambung. Ada pula sejumlah lema yang semula masuk, hilang begitu saja tanpa kami ketahui penyebabnya,’’ kata dia
Sumber : SUARA MERDEKA

Baca juga Atikel berikut ini :



0 komentar:

Posting Komentar

Jalinan Teman

Powered By Blogger

Social Bookmarking Submission

DOMAIN GRATIS

 

paksoleh punya blog. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme Modified by Paksoleh | Distributed by Deluxe Templates