kekecewaan terhadap warga yang enggan memilihnya melalui corat-coret di pagar tembok sekolah. Pagi harinya, sang caleg paruh baya itu mengusir para siswa dan guru yang hendak masuk ke sekolah.
Sementara di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, seorang caleg dilaporkan menjalani perawatan di panti rehabilitasi kejiwaan. Pasalnya, pascapemilu, ia menunjukkan perilaku aneh. Caleg tersebut enggan mandi, tak mau makan, dan acap tertawa-tawa saat melihat hasil penghitungan suara.
Caleg lain yang menjalani perawatan kejiwaan terdapat di Cirebon, Jawa Barat. Ia yang mencalonkan diri melalui sebuah partai kecil harus melakukan ritus penyembuhan di sebuah situ oleh seorang ustad. Konon, caleg ini stres karena kalah bersaing dengan calon-calon lain dalam memperbutkan suara konstituen di dapilnya. Padahal untuk berkampanye, ia telah menghabiskan dana hingga Rp 300 juta.
Namun, di antara banyak kasus yang menyangkut perilaku aneh caleg, tindakan seorang caleg DPR RI asal Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, adalah yang paling tragis. Merasa malu dengan hasil perolehan suaranya yang jeblok, ia memilih mengakhiri hidup dengan cara gantung diri di sebuah gubuk di tengah sawah.
Buah Kekecewaan
Perilaku janggal yang ditunjukkan para caleg tersebut muncul sebagai buah dari kekecewaan. Mereka tak mampu menghadapi kenyataan, terkait hasil penghitungan suara Pemilu Legislatif 2009. Kasus-kasus yang mencuat ke permukaan barangkali hanya sebagian kecil.
Media massa dengan segala keterbatasannya tak sanggup menyajikan fenomena caleg stres secara keseluruhan. Di luar yang terekspose, banyak kasus serupa bertebaran di penjuru Indonesia. Keberadaan mereka tak terlihat karena disembunyikan oleh pihak keluarga. Untuk melakukan pemulihan atau penyembuhan, keluarga cenderung tak mengirimkannya ke rumah sakit jiwa (RSJ).
Saptono, perawat RSJ Dr Amino Gondokusumo Semarang, melaporkan, hingga kemarin belum ada satu pun pasien caleg yang dirawat di tempat itu. Meski demikian, bukan berarti itu indikasi ketiadaan caleg stres di Semarang. Keluarga kemungkinan memilih melakukan pemulihan caleg stres melalui psikiater atau tempat rehabilitasi kejiwaan. Hal itu dilakukan untuk menghindari sorotan media.
”Walau bagaimana pun, caleg stres itu merupakan aib. Pihak keluarga tentu tidak mau aib itu menjadi konsumsi publik,” ujar Saptono, Kamis (16/4).
Caleg stres, kata ahli kejiwaan dari Undip dr Ismet Yusuf SPKJ, bukan fenomena baru. Fenomena itu sudah terjadi sejak pemilu-pemilu sebelumnya.
Namun, jika dibandingkan, jumlah mereka saat ini relatif lebih banyak. Ismet menengarai, hal itu tak bisa dilepaskan dari sistem pemilu baru, yang meniadakan daftar nomor urut caleg.
Dengan sistem pemilu yang baru, seorang caleg harus bertarung habis-habisan untuk mendapat dukungan massa pemilih. Mereka menggunakan segenap kemampuan, yang ada kalanya dipaksakan.
Caleg berjuang untuk diri sendiri dan untuk itu harus bersaing melawan caleg yang berasal dari satu partai. ”Secara psikis, tingkat ketegangan caleg pada pemilu kali ini jauh lebih tinggi. Kalau dulu dengan sistem nomor urut jadi, seorang caleg bisa mengukur peluang mereka.”
Stres, kata Ismet, terjadi akibat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Dalam konteks caleg, mereka menaruh harapan terlalu tinggi untuk lolos sebagai anggota dewan. Mereka melakukan upaya di luar kemampuan.
Misalnya untuk biaya kampanye, para caleg itu ada yang menjual tanah, menggadaikan rumah, barang-barang berharga, bahkan dengan cara hutang.
Nah, ketika harapan itu tak tercapai, mereka menjadi stres. Stres, lanjut Ismet, adalah suatu upaya penyesuaian diri terhadap kondisi yang tidak disukai. Jika orang yang mengalami stres bisa melalui situasi itu, ia akan pulih. Namun jika gagal, akan mengalami gangguan jiwa.
Sementara gangguan jiwa dikategorikan menjadi dua, yakni depresi dan gila. Jika depresi masih dalam alam realitas, gila tak lagi hidup dalam dunia nyata.
”Kalau cuma stres, penanganannya cukup dengan konsultasi.
Tapi kalau sudah gangguan jiwa, harus menjalani pengobatan dan terapi. Ciri gangguan jiwa pada seseorang adalah munculnya gangguan fisik, seperti kepala pusing, sulit tidur, tidak enak makan, keluar keringat dingin, dan mudah tersinggung atau marah. Kalau ada caleg yang menunjukkan ciri-ciri tersebut, berarti dia sudah masuk kategori gangguan jiwa,” papar Ismet.
Tak Terkait MotivasiStres atau gangguan jiwa pada caleg tidak berhubungan langsung dengan motivasi mereka mencalonkan diri. Apakah untuk perjuangan ideologi atau tujuan pragmatis, keduanya berpotensi mengalami stres.
”Seperti saya ungkapkan tadi, stres diakibatkan oleh kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Kalau punya harapan terlampau tinggi dan tidak kesampaian akan stres juga,” ujar Ismet.
Agar terhindar dari stres atau gangguan jiwa, seorang caleg harus mampu berpikir realistis dan mengukur harapan sesuai kemampuan.
Sumber :
Suara Merdeka