Selasa, 14 April 2009

Senjakala Politik Nahdliyyin


Wacana ini dikutip dari link ini

HASIL quick count berbagai lembaga survei dan perhitungan sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU), menggambarkan realitas politik kemunduran politik partai-partai berbasis agama dan berbasis organisasi masyarakat (ormas) agama. Di antara partai-partai berbasis agama dan ormas agama, hanya PKS yang menunjukkan peningkatan jumlah suara pemilih meski tidak fenomenal.

Yang paling menyedihkan adalah nasib partai-partai yang kader dan simpatisannya mayoritas berasal dari Nahdhlatul Ulama (NU). Mereka ”diganjar” penurunan suara pemilih secara signifikan. PKB yang dipimpin Muhaimin Iskandar yang mulai memarginalisasikan pengaruh Gus Dur, perolehan suaranya merosot tajam dibanding capaian Pemilu 2004 yang electoral vote-nya mencapai angka 11 persen.

PKB tinggal mendapatkan dukungan pemilih kurang dari enam persen. Demikian PPP, yang dipimpin Kader NU, Suryadharma Ali suaranya tinggal tersisa lima persen. Adapun partai sempalan semacam PPNUI, dan PKNU bahkan capaian suaranya diprediksi tidak mampu mencapai ambang parliemantary treshold (PT) sebesar 2,5 persen.


Kebangkrutan eksistensi partai berbasis Islam yang kader dan simpatisannya mayoritas adalah jamaah NU sendiri telah diperkirakan sebelumnya oleh berbagai analis politik nasional. PKB misalnya, partai ini yang secara simbolis didirikan oleh elite struktural PBNU pada 1998 mengalami kemerosotan politik karena faktor konflik internal berkepanjangan yang akhirnya juga memakan korban sang ikon, yakni Gus Dur yang tergusur dari kekuasaan politik primordialnya.

PKB yang kini diawaki oleh pengurus muda dari kalangan kaum Muda NU --terutama eksponen PMII-- tidak mampu mempertahankan loyalitas pemilih nahdliyyin. PKB justru ditinggalkan konstituennya yang mayoritas masih mengidolakan Gus Dur sebagai panutan sosial warga NU. PKB dari partai papan atas pada 1999 dan 2004 menjadi partai papan menengah yang kini dipandang sebelah mata oleh partai-partai lain.

Kemunduran PPP, partai berbasis Islam yang pengurusnya kini banyak diawaki oleh kader NU juga semakin ditinggalkan basis pendukung, karena citra dan ideologi serta program yang ditawarkan tidak mampu menjawab kegelisahan konstituen. PPP masih saja mengusung ide klasik tentang syariat Islam yang justru kini menjadi ”komoditas usang” politik yang tidak diterima oleh pemilih muslim yang rasional dan kritis.
Tiga Argumen
Mengapa partainya wong NU mengalami kebangkrutan politik? Ada tiga argumen yang bisa dijadikan jawaban. Pertama, partai berbasis massa mayoritas jamaah nahdliyyin adalah partai primodial yang selalu bergantung kepada patronase politik lokal. Masih saja mengusung figur ulama lokal dengan berharap mendapat dukungan penuh dari para santri dan masyarakat di seputar pesantren.

Realitas demikian yang menyulitkan partai berbasis dukungan jammaah nadhliyin untuk tumbuh berkembang menjadi partai besar, karena arus rasionalisasi politik pemilih, justru semakin mengendurkan ikatan patronase politik di kalangan pemilih nahdliyyin. Mayoritas pemilih nahdliyyin secara politik kini menjadi massa terapung yang diperebutkan oleh partai-partai berasas nasionalis semacam Demokrat, Golkar, dan PDI-P.

Kedua, partai berbasis dukungan jamaah nahdliyyin gagal memodernisasi fungsi mesin politik sesuai dinamika politik kontemporer. Selama ini PKB, PPP, PKNU, PPNUI bukanlah partai politik yang kreatif dalam menawarkan program, isu, dan harapan pembaruan kepada masyarakat (voters community).

Cenderung pasif dan pasrah kepada takdir politik yang konon mempercayai ikatan permanen dengan konstituen yang merupakan jammah Nahdliyyin. Jika partai lain semacam Demokrat, PDI-P, Golkar, PKS bahkan Gerindra-Hanura aktif dalam kampanye dengan berbagai ”kreasi isu/program”, PPP dan PKB justru tidak memiliki orientasi isu/program unggulan.

Ketiga, partai berbasis dukungan jamaah nahdliyyin tidak memiliki ikon kepemimpinan kultural-politik yang memadai dan representatif yang menarik di kalangan masyarakat pemilih dil uar NU. Bahkan di kalangan jamaah NU figur (ikon) kepemimpinan partai semacam PKB, PPP, PKNU tidak sebanding dengan kapasitas ikon partai lain. Pada awal 1999, Gus Dur boleh jadi merupakan ikon kepemimpinan kultural yang kharismatik namun saat ini kharisma Gus Dur telah surut dan tidak tergantikan oleh ulama NU lain.

Padahal ikon kepemimpinan partai adalah kekuatan efektif penarik simpati masyarakat pemilih. Kemenangan Partai Demokrat misalnya oleh berbagai analis politik bukan disebabkan pemilih memilih partai democrat an sich, namun sesungguhnya menganggap Partai Demokrat sebagai jembatan emas bagi pilihan SBY menjadi calon presiden.

Kemunduran eksistensi partai berbasis dukungan Jammaah Nahdliyyin memiliki implikasi politis dan cultural bagi Jammaah NU dalam dinamika politik nasional ditahun-tahun mendatang. Boleh jadi aspirasi dan kepentingan jammaah Nahdliyyin akan terabaikan oleh proses legislasi diparlemen dan tidak menjadi focus perhatian kebijakan pemerintah.

Basis jamaah NU yang mayoritas berada di pedesaan dan berprofesi menjadi petani, lambat laun terkonversi menjadi basis pendukung partai non-NU yang lebih memiliki perhatian dan komitmen akan peningkatan nasib petani. Boleh jadi basis jamaah NU lambat laun akan menjadi pemilih yang loyal terhadap partai lain. Melihat dari fakta politik demikian saat ini diperlukan rekonsiliasi kultural dan politis dikalangan aktor politik partai-partai berbasis dukungan jamaah NU.

Jika boleh disarankan, sudah waktunya elite PKB kubu Muhaimin mencoba mencari jalan untuk rekonsiliasi dengan kelompok PKB Gus Dur, yang kekuatan politiknya terbukti signifikan. Demikian para ulama pendukung PKNU lebih bijak apabila melakukan instrospeksi kultural dengan poros ulama politik NU yang berada dipartai lain semacam PPP, PKB untuk mencari jalan bagi unifikasi politik NU.

NU memang tidak berpolitik. Namun elite jammiyah NU serta elite jamaah NU berpolitik yang ironisnya selama ini tidak membawa kepentingan kolektif warha nahdliyyin. Untuk itulah perlu dicari terobosan politik progresif menyatukan potensi kekuatan politik kader NU dalam sebuah formula pembangunan kembali partai berbasis dukungan jamaah nahdliyyin yang solid dan tidak berbudaya konflik.

Basis jamaah NU yang mayoritas berada di pedesaan dan berprofesi menjadi petani, lambat laun terkonversi menjadi basis pendukung partai non-NU yang lebih memiliki perhatian dan komitmen akan peningkatan nasib petani.

Baca juga Atikel berikut ini :



0 komentar:

Posting Komentar

Jalinan Teman

Powered By Blogger

Social Bookmarking Submission

DOMAIN GRATIS

 

paksoleh punya blog. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme Modified by Paksoleh | Distributed by Deluxe Templates