Sabtu, 18 Juli 2009

Banyak Sekolah Hanya Berorientasi Uang


Banyak sekolah mengejar status menjadi sekolah berstatus RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional), namun sejatinya tidak paham apa itu RSBI. Yang ada di pikiran kepala sekolah dan guru, hanya uang.

"Money oriented. Mereka hanya iri dengan sekolah RSBI, karena memperoleh dukungan subsidi dana dari Depdiknas antara Rp 500 juta sampai Rp 1,5 miliar," kata Prof Dr Joko Nurkamto dari Direktorat Pembinaan SMA, Depdiknas, Sabtu.

Pada sosialisasi RSBI di SMA Negeri 1 Karanganyar, dia mengatakan, selain subsidi sekolah yang mengejar RSBI, karena ada ketentuan hanya sekolah berstatus RSBI yang boleh memungut uang kepada siswa. Jadi, lagi-lagi soal uang yang menjadi latar belakang.

Karena kesalahpemahaman itu, saat evaluasi RSBI dilakukan, dari 200 sekolah RSBI yang memperoleh status sejak 2007, hanya 20 % yang memperoleh nilai A. 70 % memperoleh nilai B, dan sisanya C. Yang memperoleh nilai A langsung memperoleh promosi status SBI, yang B diberi pendampingan.

"Nanti 2013, yang masih memperoleh nilai C akan diturunkan lagi menjadi sekolah biasa. Depdiknas akan memilih sekolah lainnya untuk dicoba berstatus RSBI. Diberi waktu lima tahun lagi, dan dievaluasi setiap tahun. Begitu seterusnya."

Saat ini kesannya masih sangat menyedihkan. Sebab citra yang muncul di masyarakat, RSBI menjadi sekolah mahal. Bukan mutu pembelajaran yang dikejar, bukan meningkatnya kualitas anak didik, tetapi sekolah harus wah, ber-AC, pakai laptop, LCD, dan Bahasa Inggris, dan sebagainya. ‘’Kami sudah melakukan sosialisasi sampai ke seluruh Indonesia. Tetapi yang kami tangkap dari sekolah yang mengikuti, ya soal itu. Mungkin ini menjadi PR bagi Depdiknas untuk gencar melakukan sosialisasi, agar pemahaman RSBI menjadi lurus," kata dia.

Soal uang, Direktorat Pembinaan SMA memang tidak mengatur. Namun acuannya sangat jelas, RSBI harus mengadopsi anak-anak miskin namun memiliki intelektualitas tinggi, pandai. Minimal 10 % kursi harus diberikan kepada mereka. Bukan hanya yang bisa membayar tinggi saja.

Selain itu, kata Joko Nurkamto, sekolah harus transparan saat menarik iuran dari siswa. RAB (rencana anggaran belanja) harus dibeberkan seluruhnya. Ada lima sumber dana, APBN (subsidi Depdiknas), APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota, Komite Sekolah, dan pihak sekolah.

"Nah, semua harus dijelaskan, disinkronkan dengan program sekolah. Dengan begitu, semua mendapatkan gambaran berapa biaya yang harus ditanggung, sehingga orang tua siswa akan tahu, memang seperti itu adanya."

Karena itulah, kata guru besar FKIP UNS itu, sekolah harus membuat program yang jelas, biayanya berapa. Kalau perlu, pada saat membahas RABS itu, sekolah mengundang Bupati, DPRD, Inspektorat, Dinas Dikpora, Komite Sekolah, sehingga semua paham.

Karena itu, tarikan uang harus disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. Yang miskin dibebaskan. Sekolah tidak perlu memaksakan perubahan fisik. Yang penting dibenahi kultur pendidikan dulu. Guru tidak telat lagi mengajar, siswa diajak aktif diskusi, perpustakaan dilengkapi, dan lainnya. "Secara bertahap, baru kemudian melangkah melengkapi sarana dan prasarana. Itupun harus sepersetujuan semua pihak, dan transparan."
Sumber : SUARA MERDEKA

Baca juga Atikel berikut ini :



0 komentar:

Posting Komentar

Jalinan Teman

Powered By Blogger

Social Bookmarking Submission

DOMAIN GRATIS

 

paksoleh punya blog. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme Modified by Paksoleh | Distributed by Deluxe Templates