Jumat, 24 Juli 2009

Lagi-lagi Kasus Perjokian


Memalukan !! Itulah kata yang tepat untuk melukiskan praktik perjokian. Ironisnya, praktik ini dilakukan oleh mahasiswa. Sebanyak 14 mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) ditengarai terlibat praktik perjokian ini di Universitas Hasanuddin Makassar. Sebelas orang terancam drop out (DO), tiga lainnya diskors 1-2 semester.

LEBIH ironis lagi, mereka termasuk mahasiswa berprestasi. Berdasarkan data Kantor Wakil Rektor Bidang Akademik ITB, sebagian besar dari 14 pelaku perjokian itu memiliki indeks prestasi kumulatif (IPK) sangat baik, yaitu 3,11-3,83 (nilai maksimum 4,0).

Bahkan salah seorang pelaku berinisial IS tercatat pernah berprestasi di Olimpiade Kimia ketika masih duduk di bangku SMA (Kompas, 10 Juli 2009). Mereka terpaksa melakukan praktik perjokian karena tak punya uang untuk membayar uang semesteran agar dapat melanjutkan studinya. Dengan menjadi joki, mereka mendapat bayaran Rp 30 juta!

Kemiskinan dijadikan alasan kaum intelektual untuk menggadaikan idealismenya. Mestinya kemiskinan menjadi senjata ampuh untuk bangkit melawan keterpurukan dan ketidakberdayaan. Namun mereka terjebak dalam "kubangan kemewahan".

Mereka berfikir pendek dalam menyelesaikan persoalan hidup yang memang makin menyesakkan ini. Budaya atau iklim intelektual yang selama ini dibangun dan dibina tidak pernah menjadi spirit atau ruh dalam kehidupan sehari-hari.
Maka, benarlah apa yang telah dinyatakan Mochtar Lubis 32 tahun lalu dalam Manusia Indonesia. Salah satu ciri manusia Indonesia, menurut Mochtar Lubis, adalah tidak hemat, bo-ros, serta senang berpakaian bagus dan berpesta.

Mereka lebih suka tidak bekerja keras, kecuali terpaksa. Ingin menjadi miliuner seketika, bila perlu dengan memalsukan atau membeli gelar sarjana supaya dapat pangkat. Manusia Indonesia cenderung kurang sabar, tukang mengge-rutu, dan cepat dengki. Gampang senang dan bangga pada hal-hal yang hampa.

Budaya menerabas dan mencari jalan pintas telah mendarah daging dalam kehidupan kita. Manusia Indonesia sudah terlena oleh kemewahan dunia, sehingga melupakan warisan nenek moyangnya.

Padahal budaya ini merupakan cikal bakal kehancuran bangsa. Bangsa Indonesia akan terpuruk karena seluruh kehidupan dihiasi dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana memutus mata rantai perjokian sebagai bagian dari budaya menerabas yang tidak patut dilakukan bangsa Indonesia?
Matinya Nalar Kritis Perjokian yang dilakukan mahasiswa pada dasarnya berkaitan erat dengan karakter dan mentalitas. Karakter dan mentalitas ini tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan di Nusantara.

Sebagaimana diketahui, pendidikan di Indonesia masih berorientasi materi. Lihatlah iklan besar-besaran mengenai sekolah menengah kejuruan (SMK) yang justru dipelopori pemerintah.

Lebih dari itu, perguruan tinggi sekarang lebih mendorong mahasiswa untuk segera selesai dan dapat mencari kerja sesuai dengan bidang yang digelutinya. Kurikulum perguruan tinggi didesain sedemikian rupa agar terintegrasi dengan dunia kerja. Fakultas-fakultas yang berkait erat dengan peluang usaha dibuka, sedangkan fakultas ilmu humaniora ditutup secara halus.

Dalam perkuliahan pun tidak ada ruang bagi mahasiswa, dosen, dan pihak kampus untuk mengembangkan nalar kritisnya. Yang ada dalam bangku kuliah adalah bekal untuk menggapai cita-cita bekerja di kantor berpendingin ruangan (AC), kerja tanpa tekanan dengan gaji jutaan rupiah.

Nalar kritis sebagai pembeda antara kaum berpendidikan (mengenyam bangku sekolah) dan tidak sekolah sudah tidak menjadi andalan. Mereka sepertinya tidak butuh pembeda itu. Mereka hanya butuh hasil pascalulus kuliah mendapat kerja, titik!

Maka, sebenarnya sulit menyalahkan mahasiswa bermental joki. Hal ini karena, pendidikan di Indonesia dikonstruksi sedemikian rupa agar manusianya menjadi joki, buruh intelektual, dan tidak berkemandirian.

Pemerintah sangat bangga jika sarjana Indonesia bekerja, tanpa harus memerhatikan kualitas dan kecakapannya. Sarjana bekerja berarti pendidikan berhasil. Itulah yang ada dalam benak pemerintah.

Selain karakter dan mentalitas, tanpa bermaksud membela apa yang telah dilakukan ke-14 mahasiswa ITB, pendidikan Indonesia terlalu mahal bagi rakyat miskin. Orang miskin dilarang sekolah, sebagaimana teriakan Eko Prasetyo, benar adanya. Orang miskin harus melakukan apa saja agar dapat kuliah.

Kasus perjokian dengan alasan materi sudah saatnya dipikirkan jalan keluarnya. Pendidikan di Indonesia harus terjangkau dan tidak membedakan kaya dan miskin. Mahalnya biaya pendidikan dan kastanisasi mahasiswa hanya makin menyuburkan praktik ilegal, seperti kasus perjokian tersebut.

Selain itu, guna menimbulkan efek jera, pihak kampus harus berani mengambil keputusan pahit. Mengeluarkan mahasiswa atau memberi peringatan merupakan pilihan terbaik dari yang terburuk. Dengan demikian, mahasiswa lain yang berniat menjadi joki akan berfikir seribu kali untuk melakukan praktik memalukan ini.

Yang tak kalah penting adalah mengusut dalang di balik perjokian yang hampir selalu terjadi setiap kali ada seleksi penerimaan mahasiswa baru. Ini menjad kata kunci yang tidak boleh ditinggalkan.

Sulit diterima akal sehat jika aksi nekat mahasiswa tersebut tanpa dibantu oknum perguruan tinggi negeri, baik pegawai, dosen, atau bahkan penyedia soal. Pasalnya, mereka menggunakan teknologi canggih dan cara-cara professional dalam menjalankan aksinya.

Sudah selayaknya oknum-oknum itu mendapat hukuman yang lebih berat daripada mahasiswa yang "sekadar" pelaksana tugas. Tanpa tindakan seperti itu, perjokian akan tetap mengintai setiap tahun. Sebab praktik ilegal ini konon beromzet miliaran rupiah.

Praktik perjokian sudah saatnya dihentikan, karena mencederai iklim intelektual dan nalar kritis kita. Lebih dari itu, terungkapnya praktik perjokian menjadi protret buruk sistem pendidikan khususnya pendidikan tinggi di Indonesia. Wallahu a’lam.
Sumber : SUARA MERDEKA

Baca juga Atikel berikut ini :



0 komentar:

Posting Komentar

Jalinan Teman

Powered By Blogger

Social Bookmarking Submission

DOMAIN GRATIS

 

paksoleh punya blog. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme Modified by Paksoleh | Distributed by Deluxe Templates